Komisi Pengawas Persaingan Usaha Kantor Wilayah II (KPPU Kanwil II) melakukan penelitian sejak Februari 2023 terkait hambatan tataniaga lada hitam di Provinsi Lampung.
Kepala KPPU Wilayah II Wahyu Bekti Anggoro mengatakan hal itu dilakukan untuk melihat apakah terdapat hambatan yang disebabkan oleh perilaku yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Padahal, lanjut Wahyu, Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil lada hitam terbesar di Indonesia.
Berdasarkan data Statistik Perkebunan Unggulan Nasional Tahun 2021-2023 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan pada Kementerian Pertanian, diproyeksikan produksi lada hitam di Provinsi Lampung dapat mencapai 15.139 ton pada tahun 2023 (angka sementara).
Akan tetapi, berdasarkan angka tetap pada periode 2020-2021 dijelaskan bahwa terjadi penurunan luas area dan produksi lada hitam di Provinsi Lampung.
Di mana, pada tahun 2020 luas area perkebunan lada seluas 45.834 Ha dengan produksi sebesar 15.412 ton, selanjutnya mengalami penurunan luas area pada tahun 2021 menjadi 45.642 Ha dengan jumlah produksi sebesar 15.229 ton.
“KPPU Kanwil II telah mendengarkan keterangan para pihak dan stakeholder terkait dalam tataniaga lada hitam di Provinsi Lampung,” kata Wahyu dalam keterangan tertulisnya, Senin (19/6/2023).
Pihak yang sudah dipanggil, di antaranya Dewan Rempah Indonesia Wilayah Lampung, Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI) Lampung, Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional pada Kementerian Perdagangan, Kelompok Tani Lada, dan Pelaku Usaha Eksportir Lada di Lampung.
KPPU menilai bahwa struktur pasar pada industri lada hitam di Lampung berada pada struktur pasar oligopoli, kondisi tersebut dilihat dari hanya terdapat 7 pelaku usaha besar yang melakukan kegiatan usaha pada industri lada hitam di Provinsi Lampung.
“Sehingga produksi lada hitam di Lampung hanya diserap oleh 7 pelaku usaha eksportir. Dari 7 pelaku usaha tersebut terdapat 2 pelaku usaha penanaman modal asing (PMA),” jelasnya.
Wahyu melanjutkan, KPPU telah mendengarkan keterangan dari 5 pelaku usaha eksportir lada di Provinsi Lampung dan terdapat pelaku usaha yang tidak kooperatif untuk memberikan keterangan kepada KPPU yaitu PT Natura Perisa Aroma, yang telah 3 kali tidak hadir memenuhi undangan pemberian keterangan kepada KPPU.
Kemudian, dari 7 pelaku usaha eksportir terdapat 2 pelaku usaha yang telah menyampaikan data dan dokumen yang dibutuhkan, sedangkan 4 lainnya yaitu PT Haldin Pacific Semesta, PT Natura Perisa Aroma, PT Agri Spice Indonesia, dan CV Putera Nusantara belum menyampaikan data dan dokumen sebagaimana yang diminta
“1 pelaku usaha yang telah menyampaikan data namun belum sesuai dengan format yang diminta yaitu PT Putrabali Adyamulia,” lanjut Wahyu.
Wahyu memaparkan, dalam penelitan awal yang dilakukan, KPPU menyoroti pergerakan fluktuasi harga lada hitam ditingkat Petani yang tidak sesuai dengan pergerakan fluktuasi harga Internasional.
Selain itu, KPPU melihat adanya selisih harga yang tinggi yaitu rata-rata sebesar 37 persen antara perbandingan harga di tingkat petani dengan harga lada hitam pada perdagangan Internasional.
Menindaklanjuti temuan awal tersebut, KPPU akan melanjutkan proses penelitian untuk melihat apakah terdapat potensi perilaku yang dapat menghambat terwujudnya persaingan usaha yang sehat pada industri lada hitam di Provinsi Lampung.
KPPU juga menghimbau agar pelaku usaha eksportir lada hitam di Provinsi Lampung dapat kooperatif dalam memberikan keterangan dan menyampaikan data dan dokumen yang dibutuhkan dalam proses kajian yang saat ini sedang berjalan.(*)