PRAGIA.ID, LAMPUNG – Yayasan Konservasi Way Seputih-Pattiro Lampung melalui program VICRA (Voice for Inclusiveness Climate Resilience Action) dengan Pemerintah Daerah yang tergabung dalam Pokja Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim (PRKBI) mengadakan FGD kerentanan dan kapasitas komunitas dan peran multipihak dalam pelaksanaan pembangunan berketahanan iklim Lampung Timur di Sukadana, Kamis (25/1/2024).
FGD ini mengundang berbagai elemen masyarakat, mulai dari sektor swasta seperti PT BSSW, PT Fermentech Indonesia, PHE Oses, dan Muara Jaya Tapioka, yang juga terlibat dalam pendampingan desa proklim (program kampung iklim).
Selain itu, kegiatan juga dihadiri oleh perwakilan kelompok rentan dari Kelompok Wanita Tani dan Gabungan Kelompok Tani dari Desa Tegal Yoso Kecamatan Purbolinggo dan Desa Tulus Rejo Kecamatan Pekalongan. Hadir juga perwakilan dari forum petani pengguna air (P3A), BMKG, instansi pemerintah dan LSM.
Narasumber utama pada acara ini adalah Dr. Tumiar Katarina Manik dan Dr. Paul Benyamin Timotiwu dari Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Dalam paparannya, Dr. Tumiar dan Dr. Paul menyoroti hasil kajian kerentanan dan kapasitas komunitas di Desa Tegal Yoso dan Desa Tulus Rejo, terutama dalam menghadapi dampak perubahan iklim di sektor pertanian.
Diskusi yang digelar dengan penuh antusiasme membicarakan solusi-solusi strategis yang dapat diimplementasikan untuk meningkatkan ketahanan iklim di kedua desa tersebut.
Kepala Pusdatin Stasiun Klimatologi/BMKG Lampung Suparji menyampaikan kesiapannya untuk berkolaborasi dengan pihak swasta dan pemerintah daerah dalam mendampingi petani.
Dalam konteks ini, BMKG menyoroti urgensi program sekolah lapang iklim (SLI) serta menyatakan kesiapannya untuk menjadi mitra yang aktif dalam mendukung petani menghadapi perubahan iklim.
“Informasi dari deputi perubahan iklim, tahun 2024 ini akan lebih panas daripada 2023. Saat ini kondisi uap air mash ditahan di laut, jadi perkiraan el Nino akan lintas tahun sampai Mei mendatang. Artinya swasta dan petani dapat melakukan antisipasi. Tapi intervensi ini kan, ada pemegang wewenangnya ya, sehingga perlu adanya kolaborasi,” kata Suparji.
Dalam sesi diskusi, Eksas Yulianto dari Desa Tegal Yoso menyampaikan bahwa perlu adanya pemahaman yang setara untuk menangani dampak perubahan iklim. Menurutnya masih ada kekurangan pemahaman di tingkat perangkat desa dan tokoh-tokoh desa terhadap program proklim dan implementasinya.
“Pendampingan dalam mengeksekusi program ketahanan pangan terutama yang berkaitan dengan peribahan iklim. Perlu adanya peningkatan kapasitas karena kami, perangkat desa, tokoh-tokoh desa, masih kurang memahami tentang proklim dan pelaksanaanya seperti apa,” kata Eksas.
Pendamping desa, Restu NH, juga menyoroti pentingnya alokasi dana desa untuk kegiatan pendukung adaptasi perubahan iklim.
“Dari paparan narasumber tadi, berarti ada kaitannya ketahanan pangan dengan perubahan iklim sehingga penggunaan dana desa bisa diarahkan untuk pengalokasian kegiatan proklim untuk bidang ketahanan pangan,” katanya.
Untuk itu, ia menyarankan agar ada surat edaran dari Dinas Pemberdayaan Masayarakat Desa (PMD) sehingga dapat menjadi prioritas di desa.
Hal ini mengingat kapasitas pendamping desa yang juga masih kurang sehingga banyak yang belum memahami keterkaitan kegiatan adaptasi perubahan iklim dengan ketahanan pangan. Padahal beberapa tahun ini, alokasi dana desa pada ketahanan pangan mencapai 20 persen dari total dana desa.
Acara ini bukan hanya sebagai wadah untuk berdiskusi, tetapi juga sebagai langkah awal menuju sinergi antarpihak dalam menghadapi perubahan iklim.
Peserta sepakat bahwa kesadaran dan partisipasi aktif dari berbagai sektor, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, menjadi kunci untuk mencapai ketahanan iklim yang lebih baik.
Arie dari PHE Oses menerangkan bahwa kajian kerentanan seperti ini sangat penting dan pihanya ingin berkontribusi terkait kajian tersebut, khususnya untuk masyarakat di wilayah pesisir dimana perusahaan mereka beroperasi.
“Ini kan Perusahaan juga butuh. Kita mengeluarkan valuasi sekian besar dan apa dampaknya kepada masyarakat. Kami mengharapkan kajiannya bisa lebih detail, misalnya kebutuhan petani untuk varietas tanaman tahan iklim,” katanya.
Selain itu, Cicika Dewi dari PT Muara Jaya Tapioka juga menambahkan bahwa untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dan pelaksanaan program iklim di desa, perlu adanya sinergitas pemerintah dan swasta.
“Bisa melakukan antisipasi dari sisi pemda dan swasta dengan lebih sineri lagi untuk masyarakat kita,” ungkapnya.
Dengan semangat kolaborasi dan harapan tinggi, FGD ini memberikan fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan. Melalui kerjasama lintas sektor, masyarakat Sukadana, Lampung Timur, bersiap untuk menciptakan lingkungan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
“Dana CSR bisa dialokasikan ke desa. Misalnya untuk pengelolaan sampah, terutama di kecamatan Purbolinggo, pengepul sampah bertambah artinya produksi sampahnya meningkat. Harapannya bisa alokasi untuk projek pilot untuk pengelolaan sampah, terutama yang memberdayakan Perempuan,” tambah Restu dalam diskusi tersebut. (*)