PRAGIA.ID, Lampung – The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) Simpul Lampung bersama Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) menggelar diskusi ihwal peran media dan desa penyangga dalam perlindungan Gajah Sumatra di Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Kuala Penet, Lampung Timur.
Kegiatan yang diikuti sejumlah NGO dan masyarakat sekitar desa penyangga TNWK itu digelar Kamis, 10 Agustus 2023.
Dalam diskusi terungkap berbagai persoalan dalam upaya konservasi Gajah Sumatra. Di antaranya, perburuan ilegal dan perusakan habitat alami yang menjadi ancaman serius bagi populasi gajah di banyak wilayah. Gajah sering menjadi sasaran pemburu untuk diambil gadingnya yang bernilai tinggi.
Selain perburuan, pertemuan gajah dan manusia juga memicu kontak fisik. Tak jarang kebun warga rusak akibat rombongan gajah melintas. Bahkan, akhir tahun lalu, seorang petani jagung di Lampung Timur, tewas diinjak gajah liar.
“Areal yang dihuni oleh manusia, merupakan lokasi siklus perlintasan gajah. Seiring pertambahan jumlah penduduk, habitat gajah terus terdesak,” ujar Kepala Balai TNWK Kuswandono.
Balai TNWK bersama mitranya telah berupaya untuk mengantisipasi terjadinya konflik tersebut. Salah satu program yang terus diusulkan adalah adanya pembangunan tembok yang membatasi kawasan dengan 32 desa penyangga hutan.
“Namun, pembangunan itu belum maksimal, sebab baru beberapa lokasi saja yang sudah ada tanggul pembatas, sehingga konflik itu masih sering terjadi,” kata Kuswandono.
Hasil kunjungan komisi IV DPR-RI akan merealisasikan pembangunan kanal permanen dengan nilai 10 miliar.
Bersama kementerian kehutanan dan lingkungan hidup akan membuat regulasi soal ganti rugi tanaman akibat konflik gajah.
Pemerintah akan membuat regulasi asuransi untuk petani yang tewas akibat konflik manusia dengan satwa.
Menurut Koordinator Simpul SIEJ Lampung Derri Nugraha, peran media dan desa penyangga TNWK sangat penting dalam upaya perlindungan gajah. Sebab, maraknya perburuan dan konflik manusia dengan gajah akibat minimnya perspektif untuk melindungi gajah. Padahal, keberadaan gajah berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan.
“Minimnya perspektif itu, salah satunya akibat kurangnya informasi terkait perlindungan gajah di media. Sebab, isu lingkungan atau konservasi masih jarang menjadi prioritas dalam ruang redaksi. Padahal, melalui aktivitas jurnalistiknya, media dapat memberi pemahaman dan penyadartahuan kepada masyarakat terutama desa penyangga bahwa keberadaan gajah penting bagi ekosistem lingkungan,” kata Derri.
Selain belum menjadi prioritas, minimnya pemberitaan terkait isu lingkungan terkadang disebabkan sulitnya akses atas informasi. Ketika ada suatu peristiwa, misal kematian seekor satwa, jurnalis kerap kesulitan mendapatkan narasumber atau informasi.
“Maka, sebagai organisasi jurnalis yang peduli lingkungan, SIEJ Simpul Lampung mendorong, setiap pihak terutama Balai TNWK terbuka ketika ada suatu peristiwa. Supaya, publik menerima informasi yang utuh. Sehingga, tercipta kesadaran akan perlindungan gajah,” kata Derri.
Sementara, salah satu peserta diskusi, Koordinator Wildlife Conservation Society Sugio mengatakan, sebenarnya ada beberapa desa penyangga yang sudah menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan gajah.
“Ada desa di Lampung Timur yang menerapkan ekowisata. Jadi, kedatangan gajah ke perkampungan mereka justru dijadikan objek wisata edukasi satwa liar,” kata Sugio.
Menurut Sugio, pada waktu-waktu tertentu, warga membuka jalur wisata dengan mengajak wisatawan untuk melihat gerombolan gajah liar dari kejauhan.
Di sana, wisatawan juga dapat menyaksikan secara langsung, bagaimana warga yang berpatroli berupaya menghalau gajah agar masuk kembali ke dalam kawasan.
“Dengan begitu, warga merasakan dampak positif yakni pertumbuhan ekonomi. Sebab, beberapa warga menyewakan penginapan dan paket wisata edukasi,” kata Sugio.[R]