Opini  

Potret Mahkamah Agung

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Lampung Kristina Tiya Ayu

PRAGIA.ID, Lampung- Mahkamah Agung mengabulkan uji materi terkait Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.

Peraturan gubernur yang hanya berkiblat pada keuntungan pengusaha ini akan berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar perkebunan akibat asap pembakaran.

Hal itu tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1P/HUM/2024 terkait perkara uji materiil yang diajukan pejabat pengawas lingkungan hidup Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beserta unsur masyarakat.

Selain dampak ekologis, nyatanya kebijakan yang di keluarkan oleh gubernur ini bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya.

Beberap peraturan perundang-undangan tersebut antara lain: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2022, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang Undang Nomor 22 tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, Peraturan Menteri Pertanian No.53/Permentan/KB.110/10/2015 tentang Pedoman Budidaya Tebu Giling yang Baik dan Peraturan Menteri Pertanian No: 05/PERMENTAN/KB.410/1/2018 tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan Tanpa Membakar.

Artinya, bahwa sebelumnya telah ada aturan terkait pengelolaan lahan perkebunan yang meminimalisir timbulnya resiko negatif. Namun, lahirnya pergub yang melegalkan pembakaran lahan perkebunan tebu merupakan praktik abuse of power oleh kekuasaan yang menghamba pada modal.

Langkah MA yang mengabulkan permohonan uji materil terhadap pergub tersebut adalah langkah konkrit bagaimana seharusnya lembaga yang memiliki kewenangan untuk menentukan keberpihakannya. Dalam hal ini, MA telah berhasil menjalankan amanat Undang-Undang.

Berbanding terbalik dengan putusan MA No. 23 P/HUM/2024 yang muncul secara kilat selang beberapa hari dari putusan MA No. 1 P/HUM/2024.

Jika dalam putusan No. 1 P/HUM/2024 Majelis Hakim memberikan pertimbangan hukum dengan berbagai justifikasi yang berkaitan erat dengan perlindungan hak asasi manusia, namun pada putusan MA No. 23 P/HUM/2024

Amar putusan MA justru terkesan memaksakan kehendak subjektif, sebab MA melakukan judicial activism dalam bentuk mengintervensi kewenangan KPU dalam membentuk regulasi namun tanpa disertai justifikasi yang memadai.

MA memberikan penafsiran atas ketentuan yang pada dasarnya tidak menimbulkan pelanggaran atas hak asasi manusia, tidak menimbulkan persoalan tata kelola kelembagaan negara yang dapat berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia, ataupun tidak menimbulkan kekosongan hukum atau tumpang tindih pengaturan.

Artinya, tidak ada satu landasan yang menjadi pangkuan MA untuk mengabulkan uji materil Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.9 Tahun 2020 tentang Perubahan keempat atas PKPU No.3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Citra baik MA yang sebelumnya berkembang atas keberanian MA membatalkan Peraturan Gubernur Lampung yang melegalkan pembakaran kebun tebu saat ini dengan cepat juga terkikis akibat dugaan adanya kepentingan politis yang lahir setelah munculnya putusan MA terkait batas usia calon kepala daerah.

Perlu diketahui, pagi ini Joko Priyambodo menantu Anwar Usman (suami dari adik Presiden Joko Widodo sekaligus Hakim MK yang menjadi ketua pada sidang putusan No 90/PUU-XXI/2023) di angkat menjadi Direktur PT Patra Logistik yang merupakan anak usaha PT Pertamina (persero) yang bergerak di bidang usaha hilir migas yang fokus pada kegiatan penyedia jasa logistik dan support jasa logistik lainnya.

Sebelumnya, putusan MK ini menuai banyak kritik dan protes dari masyarakat, kelompok, bahkan akademisi yang menilai adanya ketidakindependenan lembaga kehakiman karena diduga putusan ini juga sarat akan praktik nepotisme dan cacat hukum. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *